Sang Pemimpi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Putaka, Yogyakarta
Tahun terbit: Juli 2006
Jumlah hlm/bab: 290/18
Jenis: non-fiksi (Novel memoar; diangkat dari kisah nyata)
“Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu berlapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.”
Kutipan kalimat-kalimat di atas adalah paragraf pertama pada mozaik 1 (what a wonderfull world) dalam buku “Sang Pemimpi” yang ditulis oleh Andrea Hirata. Sekuel/buku kedua dari rangkaian tetralogi “Laskar Pelangi” ini masih merupakan suatu memoar atau kisah yang diangkat dari kehidupan nyata sang penulis. Gaya bahasa yang digunakan tak ubahnya seindah buku pertamanya “Laskar Pelangi”; metafor, kritis, deskriptif, dan sarat dengan makna dimana pembaca dapat berkreasi dengan imajinasinya sendiri akan situasi yang terjadi. Andrea melukiskan pandangan yang berbeda tentang nasib, tantangan intelektualitas, dan kegembiraan yang meluap-luap, sekaligus kesedihan yang mengharu biru. Sang pemimpi sangat inspiratif.
Pada awalnya tampak komikal, seperti kenakalan remaja biasa, tapi kemudian kisah dan karakter-karakter lambat laun menguasai cerita dalam buku/novel ini. Potret-potret kecil yang menawan akan menghentakkan pembaca pada rasa humor yang halus namun memiliki efek filosofis. Karena arti perjuangan hidup dalam kemiskinan yang membelit dan cita-cita yang gagah berani dalam kisah tiga orang tokoh utama buku ini: Ikal, Arai dan Jimbron akan memberikan daya tarik sehingga pembaca dapat melihat ke dalam diri sendiri dengan penuh pengharapan, agar menolak semua keputusasaan dan ketakberdayaan.
“Kita tak kan pernah mendahului nasib!” teriak Arai. “Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apa pun yang terjadi!”
Menyaratkan pesan untuk percaya akan tenaga cinta, percaya pada kekuatan mimpi dan pengorbanan, bahkan membuat kita percaya kepada Tuhan. Buku ini dipersembahkan untuk ayah sang penulis;
“Untuk Ayahku Seman Said Harun, Ayah juara satu seluruh dunia”
Sang Pemimpi menceritakan tentang hubungan persahabatan dan persaudaraan antara Ikal (sang penulis) dan Arai, serta persahabatan keduanya dengan Jimbron ketika masa- masa remaja (SMA). Perjuangan dan kesetiaan terhadap mimpi mereka. Pada bagian akhir cerita, Andrea memaparkan kehidupannya saat ia merantau ke Pulau Jawa dan mengenai mimpinya ... (kita simak dulu hasil “bedah” berikut).
Ikal dalam Sang Pemimpi adalah ikal remaja dari tokoh ikal dalam Laskar Pelangi (saran: baca/nonton buku/film pertamanya lebih dahulu; Laskar Pelangi). Arai adalah tokoh sentral dalam buku Sang Pemimpi. Arai dan Ikal masih bertalian darah. Usianya sebaya dengan Ikal. Neneknya adalah adik kandung kakeknya Ikal dari pihak ibu. Namun malang nasibnya, waktu ia kelas 1 SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru 6 tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas 3 SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga Ikal.
-->
Arai adalah sebatang pohon kara di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir yang tersisa dari suatu klan. Arai adalah seorang yang mampu melihat keindahan di balik sesuatu, sangat optimis dan selalu melihat suatu peristiwa dari kaca mata yang positif. Arai adalah sosok yang begitu spontan dan jenaka, seolah tak ada sesuatupun di dunia ini yang akan membuatnya sedih dan patah semangat. Kutipan berikut menggambakan ketegaran Si Simpai Keramat;
“Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah belantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yang kumal ia selipkan di daun telinganya, penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya. Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu kami. Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak 'kan ada siapa-siapa untuk mengambil apa pun. .... Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar. Lalu ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak sekecil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat. ... Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. ... Melihatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. ... Ia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian di tengah-tengah ladang tebu. ... Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba (mainan) ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. ... Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya. Ia menggoyanggoyang tubuhnya bak rajawali di angkasa luas. "Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!" Pasti itu maksudnya. Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuat kuat dan aku ingin tertawa sekeras- kerasnya, tapi aku juga ingin menangis sekeras-kerasnya.”
Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas langit. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah terdiam. Jika Arai mengaji, Ikal bergegas menuruni tangga rumah panggung, kemudian berlari sekuat tenaga. “Di tengah lapangan itu aku berteriak sejadi- jadinya” (Ikal). Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Arai suka memanggil Ikal dengan nama lain dengan gaya Lone Ranger;
“Tonto"
Tokoh lainnya adalah Jimbron, anak yatim piatu. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang biasa. Jimbron bertubuh tambun. Andrea menggambarkan ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di daerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis—jika melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya. Kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta (sebetulnya pastor karena beliau seorang Katolik). Beliau biasa dipanggil Pendeta Geovanny. Setelah sebatang kara seperti Arai, Jimbron menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungan dengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak- anak lainnya.
Jimbron adalah anak tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya. Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Jimbron pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahan memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas 4 SD itu, kehabisan napas dan pucat pasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya mengikuti bibinya ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka.
Jimbron sangat menyukai kuda. Menurut cerita, ini berhubungan dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kuda. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Penulis menggambarkan tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. “ Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gila nomor 14 (Obsesif Kompulsif).”
Ketiga tokoh larut dalam kisah persahabatan. Bersekolah di pagi hari dan bekerja sebagai kuli ngambat di pelabuhan ikan pada dini hari. Hidup mandiri terpisah dari orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sangat terbatas namun punya cita-cita besar, sebuah cita-cita yang bila dilihat dari latar belakang kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
Di kampungnya, tak ada SMA. Setelah tamat SMP Ikal, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah SMA. Setelah 40 tahun merdeka, akhirnya Belitong Timur memiliki sebuah SMA Negeri. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong Pandan. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan nasib, termasuk ayah Ikal, terancam kolaps. Karyawan di-PHK, memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua. Ikal, Arai, dan Jimbron menjadi kuli ngambat. Karena pekerjaan ini, ketiganya menyewa sebuah los sempit di dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu. Sebelum menjadi kuli ngambat mereka sempat bekerja sebagai penyelam di padang golf lalu beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor pemerintah untuk memungkinkannya dapat sekolah.
“Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja subuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara. Persoalannya, lebih sadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji.”
Mimpi Ketiga tokoh dalam buku ini dimulai dari guru kesusastraan mereka: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, Ikal, Arai, dan Jimbron terpesona pada Pak Balia.
“"What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "... echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian... "Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!"”
"Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban...." kata Pak Balia sambil memperlihatkan gambar yang menampakkan seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas dengan sedikit coretan impresi dan di belakang kanvas itu berdiri menjulang Menara Eiffel seolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah menjadi dua tepat di kaki-kakinya. Dan pada saat itulah ikal, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung dalam satu statement yang sangat ambisius:
“cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika.”
Lulus SMA, tabungan dari hasil keringatnya bekerja sebagai kuli ngambat tidaklah cukup untuk sekolah di Prancis. Ikal dan Arai memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan. Jimbron memberikan dua celengan berbentuk kuda berisi tabungannya dari upah menjadi kuli ngambat selama ini yang selalu ia isi dengan jumlah yang sama pada masing-masing celengan tersebut kepada kedua sahabatnya. Masing-masing satu untuk menambah bekal merantau di Pulau Jawa. Celengan kuda tersebut ia dapat dengan cara memesan kepada anak buah kapal kenalannya di dermaga. Dari anak buah kapal ini lah Ikal dan Arai berhasil ke Pulau Jawa dengan cara menumpang dan menjadi buruh kasar (membersihkan dak, memasak, dsb) di kapal yang ia tumpangi. Dan dari dia pula Ikal dan Arai tahu tujuan pertama ia di Pulau Jawa; Ciputat. Perpisahan Ikal dan Arai dengan orang-orang terdekat yang mengantarnya ke pelabuhan diceritakan dengan cukup mengharukan. Bu Muslimah yang ikut mengantar berpesan “Jangan kembali sebelum jadi Sarjana”.
Sampai di Pelabuhan Tanjung Priok pada malam hari, bergegas Ikal dan Arai mencari bis ke Ciputat. Namun tiba-tiba orang di dalam bis menariknya ketika ia menanyakan bis tujuan Ciputat, dan kemudian, mereka gagal pada tujuan pertama “Ciputat” dan berdiri di terminal yang bertuliskan “Terminal Baranangsiang” Bogor. Malam pertama mereka tidur di masjid dan keesokan harinya dengan mudah menemukan Kos di dekat kampus IPB. Oleh karena kesempatan untuk berkuliah belum mereka dapatkan, dan mereka butuh uang untuk menyambung hidup, mereka bekerja sebagai tukang foto copy. Mereka juga hampir menjadi sales alat-alat rumah tangga. Kemudian Ikal mendapat kesempatan mengikuti sejenis training untuk menjadi pegawai Pos di luar kota. Sekembalinya ke kosan di Bogor, Ikal tidak mendapati Arai. Arai tidak memberikan kabar apa-apa. Menurut kabar, Arai sudah berada di Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal berkesempatan kuliah di Fakultas Ekonomi-Universitas Indonesia, sementara ia masih bekerja di kantor Pos. Hingga lulus menjadi Sarjana, Ikal masih belum bertemu dengan Arai. Namun demikian, cita-citanya untuk sekolah di Prancis masih melekat di dadanya. Suatu kesempatan, ada beasiswa S2 di UNI Eropa. Dengan serius Ikal mempersiapkan proposal/papernya. Menurut sang penguji dari Indonesia, paper nya tersebut berkompeten menghasilkan penemuan baru.
Meskipun telah lama Ikal tidak bertemu dengan Arai, tapi Ikal tahu bahwa Arai tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Pada tes terakhirnya untuk mendapat beasiswa UNI Eropa tersebut, secara mengejutkan Ikal bertemu Arai. Ia juga berhasil masuk pada tes terakhir. Selama ini Arai kuliah pada jurusan Biologi di Universitas Mulawarman-Kalimantan sekaligus bekerja di toko batu permata. Sambil menungggu pengumuman beasiswa, Ikal dan Arai menyempatkan pulang ke Belitong. Di pelataran depan rumahnya, di sisi ayah ibunya ikal membuka surat; mengumumkan bahwa ia mendapat beasiswa Université de Paris, Sorbonne, Prancis. Dan Arai, di dalam rumah menangis tersedu di depan foto kedua orang tuanya, memegangi surat seperti surat Ikal. Ia juga mendapat beasiswa di Universitas yang sama.
"Seluruh kesulitan dalam hidup ini adalah bagian dari suatu tatanan yang sempurna dan sifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini." (Pierre Simon de Laplace)
"Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!” (Albert Einstein)
"Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!" (Arai)
"Masa muda, masa yang berapi-api!” (Haji Rhoma Irama)
untuk download buku klik gambar dibawah
0 comments:
Post a Comment